Fiqh Aswaja Dalam Berbangsa dan Bernegara

Share ->

Facebook Google+ Twitter Telegram

Nahdlatul Ulama’ telah banyak merumuskan keputusan tentang persoalan negara, kebangsaan dan pemerintahan, antara lain:

Negara Indonesia adalah negara Islam.

Menurut para ulama, bahwa Negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai darul Islam (negara Islam), bukan daulah Islamiyyah (pemerintahan Islam), karena mayoritas penduduk di wilayah ini beragama Islam dan dapat melaksanakan syari’at Islam dengan bebas dan secara terang-terangan. Hal ini merujuk pada kitab Syarh Arba’in Nawawi hal. 10 dan Bughyatul Mustarsyidin hal. 254. (Muktamar NU ke 11 tahun 1936 di Banjarmasin, Bahtsul Masail PWNU Jatim tahun 2004 di Banyuwangi, Munas NU tahun 2012 di Cirebon).

Status Presiden RI adalah Waliyyul Amri Dharuriy bis Syaukah (penguasa pemerintahan secara darurat sebab kekuasaanya).

Hal ini dikarenakan ketidak-mungkinan mendapat pemimpin yang memenuhi syarat yang ideal, dengan demikian bagaimanapun pemimpin tetap harus ada, agar urusan berbangsa dan bernegara terjaga dan tidak terbengkalai. (Muktamar NU ke 20 tahun 1954 di Surabaya).

Nasbul Imam dan Demokrasi. 

Memilih pemimpin yang mampu mengemban amanat adalah wajib hukumnya. Bagi NU demokrasi adalah perwujudan Syura dalam Islam yaitu asas bermusyawarah sesuai mekanisme yang benar guna membuahkan keputusan yang terbaik dan paling maslahah. (Munas NU tahun 1997 di Lombok Tengah).

Asas Tunggal Pancasila. 

Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia telah disepakati dan diterima sebagai pedoman hidup bersama yang mengikat semuanya dalam menjalankan hidup bermasyarakat, beragama dan bernegara. Maka menjadi penting memahami pancasila dan hubungannya dengan Indonesia sebagai darul Islam. Oleh karena itu, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Jadi dalam hal ini, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (Muktamar NU XXVII tahun 1984 di Situbondo, Munas NU tahun 2012 di Cirebon).

Pemilukada dan Pilpres. 

Dalam pandangan Islam, pemimpin negara adalah pelanjut tugas pokok kenabian yaitu menjaga Agama (حراسة الدين) dan mengatur dunia (سياسة الدنيا). Mengingat pentingnya tugas pemimpin (imam), maka negara wajib dipimpin oleh seorang imam yang cakap memegang tampuk pemerintahan. Syariat Islam sendiri tidak menentukan sistem apa yang harus dipakai dalam pemilihan pemimpin dalam sebuah pemerintahan. Namun hendaknya diwaspadai model pemimpin yang lahir secara instan, yaitu para pemimpin yang tidak mengukur kemampuan dirinya sendiri dan lebih banyak melihat kekuasaan sebagai media menuju kenikmatan pribadi. Indikasinya pelaksanaan pilpres dan pemilukada  banyak menimbulkan kamadlaratan, seperti konflik sosial, memecah belah  kerukunan, money politik dan berujung pada korupsi serta menghabiskan anggaran negara yang besar. (Munas NU tahun 2012 di Cirebon)

0 Response to "Fiqh Aswaja Dalam Berbangsa dan Bernegara"

Posting Komentar