Dalam usul fiqh ada sebuah adagium yang sangat terkenal yakni al ‘adatul muhakkamah, “Budaya bisa dijadikan dasar pengambilan kebijakan hukum”. Dalam tradisi Madzab Hanafi kita juga mengetahui adagium, “Yang baik menurut adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebaisaan, sama nilainya dengan yang mantap benar dalam nash”.
Pijakan kaidah atau adagium tersebut bersumber salah satunya dari al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 199 yang artinya “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Budaya-budaya lokal bisa diadopsi menjadi bagian dari hukum syariah sepanjang budaya dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam. Dengan kata lain, proses akulturasi budaya atau sinkretisme budaya dan agama sangat mungkin terjadi dalam ajaran Islam.
Contoh paling kongkret dalam hal ini adalah proses tahlil atau masyarakat kita mengenalnya dengan sebutan “tahlilan” untuk mendoakan orang meninggal dunia yang diambil dari tradisi pra-Islam sebagai wadah, digabungkan dengan bacaan ayat-ayat al-Qur’an, shalawat serta dzikir kepada Allah yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam, sebagai isi dan substansi dari acara tahlil itu sendiri.
Tradisi tahlilan adalah gabungan sekaligus ramuan kreatif antara budaya di satu pihak dan ajaran agama di pihak yang lain. Sebagai budaya, proses tahlilan merupakan infrastruktur yang berfungsi menguatkan sekaligus mengokohkan pelaksanaan syariat Islam dalam arti membaca fragmen-fragmen penting dari ayat-ayat suci al-Qur’an.
Dengan demikian, tahlilan merupakan gabungan antara tradisi lokal dengan ajaran Islam yang kemudian telah menjadi ibadah ghairu mahdhoh yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Itulah impelementasi dari kaidah fiqh: al ‘adatul muhakkamah.
Masyarakat Islam di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah punya tradisi yang unik: mereka tidak memakan daging sapi sampai saat ini karena ingin menghormati para tetagganya yang beragama Hindu. Tradisi itu merupakan warisan yang telah turun temurun dilestarikan Sunan Kudus. Sunan Kudus sangat menghormati tradisi dan budaya masyarakat Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan yang suci. Maka, sampai saat ini, sebagai bagian dari menjaga tradisi dan menghargai keragaman dengan semangat toleransi, masyarakat Kudus tidak pernah memakan daging sapi.
Banyak contoh lain dari –meminjam istilah Gus Dur– keberhasilan pribumisasi Islam di bumi nusantara ini. Sultan Agung sebagai raja tanah Jawa ketika menggabungkan kalender hijriyah ke dalam kalender Jawa adalah contoh kreasi yang berhasil memberi pemahaman kultur Islam pada rakyat di Jawa. Islam menyebar di bumi nusantara ini berlangsung secara gradual: pelan tetapi berjalan dengan pasti. Tahap pertama, biasanya hanya berupa konversi menjadi muslim nominal (Islam KTP) terlebih dahulu. Baru kemudian pada tahap kedua, mulailah proses pematangan pemahaman Islam (ortodoksi) setelah memperoleh dukungan infrastruktur berupa budaya lokal. Di sinilah letak kecerdasan para wali dan pengajar Islam masa-masa awal yang memahami sosiologi dakwah dengan memperhatikan karakter dan kultur masyarakat setempat.
Contoh lain, meskipun Kesultanan Demak atau Keraton Mataram amat berperan dalam penyebaran Islam, tetapi tidak serta-merta langsung memberlakukan syari’at Islam pada seluruh penduduknya. Mengapa? Cara gradual mengandaikan, ajaran Islam lebih baik tumbuh sebagai bentuk kesadaran masyarakat (bottom-up), daripada dipaksakan melalui peraturan-peraturan dari atas (top-down). Dengan cara gradual dan akulturatif ini, Islam diterima sebagian besar penduduk tidak dengan menciptakan masyarakat nusantara yang terbelah. Nyaris tidak ada konflik. Islam tersebar dengan sejuk dan damai.
Tarik-menarik secara kreatif antara proses akulturasi dan ortodoksi ini, bukan tanpa mengalami pasang-surut dan macam-macam tantangan. Akan tetapi, para penyebar Islam tidak kehilangan cara yang kreatif. Ketika jaringan niaga dan dakwah maritim menghadapi jalan buntu karena pembatasan dan penghancuran oleh penjajah, pribumisasi Islam digantikan oleh para kiai pesantren yang umumnya bergelut dengan masyarakat tani. Para kiai ini merupakan pribadi-pribadi yang matang dan dididik melalui pendidikan intensif, baik yang berkaitan dengan kualitas ilmu agama ataupun yang berkaitan dengan pendalaman spiritual (tasawuf). Kelak, dunia spiritual di pesantren dan masyarakat pertanian lebih dikenal dengan sebutan tarekat dari pada istilah tasawuf.
Proses ortodoksi melalui jaringan pesantren dan tarekat ini berjalan intensif dan tidak mampu dihadang oleh penjajah, sehingga perannya sangat luar biasa untuk keberhasilan Islamisasi berlatar belakang budaya di nusantara ini.
Dengan segala pasang surut dan berbagai tantangannya, Islam berbasis kultur setempat itu kemudian bermetamorfosis (menjelma) menjadi bagian penting sebagai penyumbang paham keagamaan dan kebangsaan. Kita mengenal mars lagu “hubbul wathan minal iman” yang populer di masyarakat. Hal tersebut adalah indikasi kuat bahwa paham keagamaan yang berlatar belakang infrastruktur budaya telah nyata-nyata menjadi jembatan berseminya paham kebangsaan.
Kesetiaan menjaga dan sekaligus terus berupaya mengembangkan penemuan-penemuan yang inovatif adalah bagian penting dewasa ini. Sesuai dengan prinsip al–muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, “Menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi”. [Tim Redaksi]
Disarikan dari Pidato Kebudayaan Ketua Umum PBNU
Prof. Dr. K H. Said Aqil Siroj, MA
Pada peringatan Harlah NU ke-91
0 Response to "Budaya Sebagai Infrastruktur Penguatan Paham Keagamaan"
Posting Komentar