Dari jalur ayah, nasabnya bersambung kepada Maulan Ishaq hingga Imam Ja'far Shodiq bin Muhammad al-Baqir. Sedang dari jalur ibu nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Petang) yang berputera Jaka Tingkir, raja Pajang pertama (1568) dengan gelar Sultan Panjang atau pangeran Adiwijaya.
Tiga Hari Sebelum Wafatnya KH. Hasyim Asyari
Dalam buku Profil Pesantren Tebuireng disampaikan bahwa pada 3 Ramadhan 1366 H. yang bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M., pukul 21.00 wib. Seperti biasa Mbah Hasyim baru saja selesai mengimami shalat tarawih. Beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tidak lama kemudian, datang seorang tamu utusan Jendral Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.
Sang utusan menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi tiga pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah, pertama bahwa di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, dan Madiun.
Kedua, Hadratussyaikh dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh. Pesan ketiga adalah jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kiai Hasyim. Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberikan jawaban bahwa beliau tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Sudirman dan Bung Tomo. Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada hadratus syaikh. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratus Syaikh kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.
Tidak lama berselang, hadratus syaikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar "Masya Allah, masya Allah.” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Kala itu putra-putri beliau sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Kemudian pada pukul 03.00 wib., bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366, hadratus syaikh KH M Hasyim Asy’ari dipanggil Sang Maha Kuasa
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa beliau selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan tiga fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. Kedua, kaum muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. Ketiga, kaum muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah, maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.
Kepergian Kiai Hasyim menjadi duka mendalam di awal bulan Ramadhan. Tidak hanya bagi keluarga besar Pesantren Tebuireng, tapi juga warga Nahdlatul Ulama (NU), masyarakat sekitar bahkan bangsa Indonesia.
0 Response to "Tujuh Ramadhan, Saat Wafatnya Hadratussyekh Hasyim Asy'ari Ulama Dan Pahlawan Bangsa"
Posting Komentar