Orde Baru Memaksakan Independensi PMII

Share ->

Facebook Google+ Twitter Telegram

Kaum cendikiawan dan mahasiswa merupakan kelompok strategi dan sekaligus sebagai trend setter (pembuat arus) juga sebagai motor perubahan, karena itu lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memberikan harapan baru bagi NU untuk lebih konseptual dan dinamis dalam menggerakan roda organisasi. Sebaliknya, bagi lawan ini sebagai ancaman yang mengerikan ketika NU punya barisan ulama sekaligus memiliki barisan intelektual. Arti strategis PMII di gambarkan oleh KH Idham Chalid bahwa kalau NU itu ibarat badan, maka PMII adalah kepalanya. Maka PMII bagi NU merupakan kekuatan intelektual, sebagai penggerak pemikiran.

Mengetahui peran strategis kelompok cendekiawan itu, maka ketika Orde Baru melupakan pemretelan atau pembersihan kekuatan NU secara sosial dan politik termasuk ekonomi, maka setelah membereskan Ansor, mengurung IPNU, maka salah satunya harus diringkus adalah PMII. Kalau Ansor dan Fatayat dipisah dari NU dengan diberi mainan politik di luar. Tetapi, upaya Orde Baru untuk mengatasi PMII itu dengan menggunakan strategi lain. Karena kalau NU masih memiliki barisan intelektual seperti PMII, maka NU akan terus berkembang. Tidak ada cara lain, PMII harus dikeluaran dari NU. Dengan demikian diharapkan tidak ada lagi dinamika dalam NU, di saat yang sama, tanpa topangan NU, PMII juga akan mengalami kemerosotan, sehingga keduanya akan mengalami keruntuhan. Kondisi ini yang diharapkan oleh Opsus (operasi khusus) intelijen yang di pimpin Ali Moertopo sebagai eksekutor lapangan Orde Baru dalam menggarap PMII.

Pertama, disebarkan isu bahwa PMII adalah kelompok intelektual yang bebas dari kreatif. Tidak mungkin kelompok intelektual bisa berkembang di dalam naungan sebuah organisasi keagamaan yang tradisional dan konservatif. Kalau mau maju sesuai dengan perkembangan zaman, maka PMII harus keluar dari NU agar bisa bebas bergerak, bebas dari kungkungan para ulama konservatif, Selanjutnya, PMII dijanjikan bisa mengintegrasikan diri dengan kelompok cendikiawan lainnya, tanpa ada sekat-sekat politik atau kelompok primordial, sehingga PMII bisa menjadi intelektual bebas.

Kedua, sesuai dengan teori pembangunanisme Orde Baru yang berbasis pada teori modernisasi, maka NU sebagai organisasi yang dituduh tradisional dianggap musuh dari pembangunan, NU dianggap organisasi tradisional yang tidak berkompeten dalam menjalankan pembangunan. Karena itu, PMII didorong untuk keluar dari NU agar bisa menjadi organisasi yang modern, dinamis dan kritis, sejajar dengan gerakan mahasiswa yang lain, yang berdiri sendiri sesuai dengan aspirasi dan dinamika intelektual dan kepemudaan.

Banyak yang menolak pendangan ini, dengan dalih bahwa selama ini PMII tetap maju meskipun menjadi bagian dari NU. Justru dalam naungan NU itulah PMII mampu mengembangkan pemikiran kreatif. Selama ini NU juga tidak pernah membatasi gerakan pemikiran PMII sehingga PMII tidak pernah ada masalah mengikuti NU. Sementara kelompok pimpinan PMII lainnya telah terkena propaganda dari luar, mulai ikut pandangan Orde Baru. Kelompok itu juga berpandangan kalau PMII mau maju harus keluar dari NU yang konservatif. Mereka ini memandang bahwa bukan pada zamannya lagi mahasiswa berlindung dalam naungan ormas, apalagi ormas tradisional. Begitulah alasan mereka yang menghendaki PMII keluar dan Independen dari NU. Propaganda itu begitu kuat sehingga mulai merusak ke dalam perasaan kader PMII, akibatnya mulai tertanam rasa malu atau minimal enggan menjadi bagian dari NU yang tradisional dan konservatif.

Saat itu, Orde Baru memang sedang melakukan deNU-isasi secara gencar, melepaskan PMII dari NU merupakan agenda terpenting  mereka. Selain menyebarkan propaganda bahwa kalau PMII ingin berkembang, maju dan menjadi organisasi modern tidak boleh berada di bawah naungan organisasi para kiai. Secara politik mereka juga mulai mendapat tekanan. Pertama, mereka mulai didorong  untuk melepaskan dari ormas itu karena mereka akan segera akan dipaksa masuk ke dalam wadah tunggal kaum muda yaitu di KNIP. Selain itu, mereka juga dijanjikan akan diberi jabatan menteri, maupun jabatan penting lainnya di pemerintahan Orde Baru. Rupanya desakan, intimidasi dan janji yang terus didesakkan itu mulai melunturkan pimpinan PMII sehingga sebagian menerima desakan independensi.

Meski dengan perdebatan alot akhirnya kelompok pro-independen menang tipis dengan kelompok dependen. Namun hasil keputusan kongres itu tidak dibacakan karena mendapat tekanan keras dari PMII Jawa Timur yang didukung kuat oleh pasukan Banser. Tapi keputusan tetap jalan. Mengingat keputusan kontroversial itu banyak ditentang, maka keputusan itu tidak pernah dideklarasikan secara terbuka, karena khawatir mendapat tantangan. Cukup dijalankan begitu saja, tetapi hasilnya juga tidak jelas, sebab sulit memisahkan PMII dari NU baik secara psikologi dan historis, mereka tetap berkantor di kantor NU masing-masing. Tetapi persekongkolan Orde Baru berjalan mulus.

Maka berhasillah Orde Baru memenggal kepala NU sehingga NU kehilangan kelompok pemikirnya yang selama ini dibanggakan. Dengan tidak lagi menjadi bagian NU, maka posisi PMII juga menjadi lemah, tidak ada kekuatan besar yang melindunginya. Ketika dikeluarkan dari NU justru PMII tunduk kepada kekuasaan Orde Baru yang represif, akhirnya dimasukan kandang KNIP sebagai wadah tunggal organisasi kepemudaan, di mana mahasiswa masuk ke dalamnya. Kelompok Cipayung sebagai tandingan dari kelompok ini tidak bisa berbuat banyak, akhirnya warga mereka terserap ke dalam KNIP.

Janji tinggal janji, meskipun PMII telah independen dari NU tetapi janji untuk mendapatkan kedudukan sebagai menteri dan posisi lainnya tidak pernah dipenuhi. Sekadar menjadi pejabat pemerintah saja tidak, akhirnya paling banter menjadi aktivis partai PPP, itupun secara berangsur juga digusur dan dibuldozer oleh kelompok Islam modernis pimpinan Naro yang didukung Orde Baru. Akirnya, NU kehilangan PMII dan PMII kehilangan NU, sama-sama mengalami kerugian. Hubungan keduanya hanya bersifat historis dan psikologis saja, secara struktural telah terputus. Hal itu merugikan kedua belah pihak.

Keputusan independen bukan pemikiran strategis yang diambil sendiri, tetapi keputusan yang diambil berdasarkan kepentingan dan manipulasi orang lain dan paksaan orang lain, akhirnya independensi itu tidak membawa manfaat, sebaliknya malah membawa madhorot. Dengan berhasilnya Orde Baru membuat independensi PMII itu maka proses deNU-isasi berjalan dengan mulus. Pemikiran manipulasi itu kadang oleh PMII masih dipahami sebagai langkah strategis. Ini sejarah yang harus dipahami, yaitu sejarah represi Orde Baru sebuah rezim komprador yang akan selalu menyingkirkan kekuatan besar yang dianggap mengancam kepentingannya. Akibatnya keputusan yang diambil itu, NU dan PMII menjadi korbannya, bersama korban Orde Baru lainnya.

(wawancara dengan KH. Nuril Huda, salah seorang Pendiri PMII dan Prof Muiz Kabri, pimpinan PMII Jawa Timur yang menentang independensi PMII dan beberapa sumber lainnya)

0 Response to "Orde Baru Memaksakan Independensi PMII"

Posting Komentar